Indonesia

Indonesia
Cintailah Tanah Air Kita

Sabtu, 10 April 2010

Penurunan Mutu Ikan Tuna

PROSES PENURUNAN MUTU IKAN TUNA (Thunnus spp)

Dedy Antoro/ 20070204

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Ikan-ikan dari suku Scombridae umumnya merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang penting. Peran terbesar adalah ikan tuna (Thunnus) kemudian menyusul cakalang (Katsuwonus), tongkol (Euthynnus), kembung (Rastrelliger) dan Tenggiri (Scomberomorus) (Anugerah Nontji, 1993).

Ikan tuna merupakan komoditi utama dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Juni 2005. revitalisasi tersebut merupakan strategi umum pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan petani-hutan; meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; serta menjaga kelestariaan sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005). Tuna dan cakalang dipilih di dalam program revitalisasi karena produksinya produksinya masih dapat ditingkatkan, terutama di kawasan Timur Indonesia (Hari Eko dan Teuku Muamar, 2007).

Ikan tuna di Indonesi antara lain terdiri atas madidihang (Thunnus albacares), albakor (Thunnus alalunga), mata besar (Thunnus obesus), dan tatihu (Thunnus maccoyi) (Anugerah Nontji, 1993).

Ikan tuna dan sejenisnya sampai saat ini masih mendominasi ekspor produk perikanan Indonesia. Namun menurut Murniyati dan Sunarman (2000), seperti ikan lain, tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah tertangkap keduali jika ditangani dengan baik.

Kami sebagai mahasiswa Perikanan, khususnya Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang berada dalam naungan yayasan harus mengetahui proses kemunduran mutu tersebut sehingga nantinya dapat mencegah proses tersebut.

 

 

1.2. Tujuan

  1. Mahasiswa dapat mengetahui proses penurunan mutu pada hasil perikanan.
  2. Mahasiswa dapat mencegah proses kemunduran mutu tersebut sehingga mutu dan kesegaran ikan masih tetap terjaga untuk dikemudian hari.

 

II. PEMBAHASAN

2.1. Mengenal Tuna Lebih Dekat

2.1.1. Klasifikasi Ikan Tuna

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan asalah sebagai berikut

Phylum                        : Chordata

Sub phylum                 : Vertebrata Thunnus

Class                            : Teleostei

Sub class                     : Actinoperygii

Ordo                            : Perciformes

Sub ordo                     : Scombroidae

Genus                          : Thunnus

Species                        :Thunnus alalunga (Albacore), Thunnus albacores (Yellowfin Tuna), Thunnus macoyii (Southern Bluefin Tuna), Thunnus obesus (Big eye Tuna), Thunnus tongkol (Longtail Tuna).

 

2.1.2. Definisi Ikan Tuna

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae. Tubuhnya seperti cerutu, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) debelakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak kedalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwrna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983).

Gambar 1.  Suasana dalam jaring apung ikan tuna.

Ikan tuna termasuk perenang cepat dan terkuat diantara ikan-ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia, dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981).

 

2.1.3. Komposisi Kimia Daging Tuna

Komposisi kimia daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin, dan musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemaksebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah menurut umur dan/ musim. Lemak paling banyak terdapat di dinding daging (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Table 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (dalam % berat)

Spesies

Air

Protein

Lemak

Karbohidrat

Abu

Blueefin

Daging merah

68,70

28,30

1,40

0,10

1,50

Daging berlemak

52,60

21,40

24,60

0,10

1,30

Southern bluefin

Daging merah

65,60

23,60

9,30

0,10

1,40

Daging berlemak

63,90

23,10

11,30

0,10

1,30

Yellowfin

Daging merah

74,20

22,20

2,10

0,10

1,40

Marlin

72,10

25,40

3,00

0,10

1,40

Skipjack

70,40

25,80

2,00

0,40

1,40

Mackerel

62,50

19,80

16,50

0,10

1,10

Disamping itu, ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin, dan niasin) Departemen of Health Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).

Gambar 2. Tuna (a) Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), jenis tuna yang                  paling dicari; (b) "Toro" sashimi, bagian daging tuna yang paling enak dan mahal.

 

2.1.4. Daging Merah Ikan Tuna

Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50% dari tubuh ikan (Suzuki,1981). Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50-60% (Stanby, 1963).

Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi daripada daging merahnya. Namun sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging merahnya. Daging merah ikan tuna dapat dibedakn berdasarkan lapisan lemaknya, yaitu otoro, chutoro, dan akami. Otoro terdapat pada bagian perut bawah, berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal.

Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan dibawah kulit tubuh. Jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1-2% pada ikan yang tidak berlemak hingga 20% pada ikan yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil (Okada, 1990).

Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung mioglobin. Dsaging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk bermigrasi (Lerson dan Kaylor, 1990).

Okada (1990)menyatakan bhwa daging merah mengandung kioglobin dan hemoglobinyang bersifat prooksidan sera kaya akan lemak. Warna  merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Diantara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80% hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3500mg/100g (Watanabe, 1990).

 

2.2. Penurunan Mutu Ikan Tuna

Seperti ikan lain, tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah tertangkap kecuali jika ditangani dengan baik. Suhu yang tinggi mempercepat dan memperpendek rigor mortis dan mengantarnya ke proses autolysis dan pembusukan oleh bakteri yang berjalan sangat cepat. Karena tuna ditangkap dari populasi liar, nelayan tidak dapat leluas memilih ikan dengan kondisi biologis tertentu misalnya yang berkadar lemak tinggi (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Andrew Darby : A worker prepares tuna for auction at a Tokyo fish market

Gambar 3. Pembekuan Ikan Tuna

Berbeda dari kebanyakan ikan, tuna dianggap berdarah panas yang kurang peka terhadap perubahan temperature air yang kecil. Selain itu, karena ukurannya yang besar dan temperaturenya yang tinggi (mencapai 380C pada waktu tropis), kita mengalami kesulitan dalam mendinginkan terutama bagian dalam.

 

 

 

2.2.1. Histamin Pada Ikan Tuna

Ikan tuna merupakan salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat dan jika dibiarkan pada suhu kamar, maka terjadi proses penurunan mutu menjadi busuk.  Ikan sudah mengalami proses pembusukan, bila dikonsumsi dapat menimbulkan keracunan (Histamine fish poisoning).

Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili Scombroidae, subfamily Scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang didalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin merupakan indikator utama keracunan skombrotoksin (Clifford et al., 1989 & 1991). Skombrotoksin adalah toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan famili Scombroidae seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, makerel, dan yang sejenisnya (Ababouch et al., 1992). Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1993), senyawa histamin mungkin tak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun yang dalam beberapa hal dapat menimbulkan keracunan yang disebut “scombroid food poisoning”. Histamin di dalam daging diproduksi  oleh hasil kaya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin yaitu histidine dekarboksilase. Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil) dihasilkan histamine. Satuan kadar histamine dalam daging tuna dapat dinyatakan dakam mg/100g; mg% atau ppm (mg/ 100g).

Histidin bebas yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamine dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungn histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg%.

Sebaliknya, ikan-ikan berdaging putih rendah kandungan histidin bebasnya dan ketika busuk tidak menghasilkan histamine sampai 10mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250C.

Pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap. Justru daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh lebih sedikit. Jadi, untuk dikonsumsi manusia daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan Trimetil Amina Oksida (TMAO), yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin (Winarno,1993).

TMA (Trimetil Amina) merupakan hasil pembusukan spesifik terhadap produk ikan laut yang mengandung TMAO dan senyawa non protein nitrogen lainnya, kemudian oleh bakteri dan enzim direduksi menjadi TMA (Ilyas, 1983). Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1993), TMA dihasilkan oleh senyawa-senyawa lipoprotein yang diuraikan lebih dahulu menjadi kolin, kemudian diuraikan lebih lanjut menjadi TMAO yang oleh enzim dehidrogenase akan direduksi menjadi TMA. Penggabungan TMAO dengan asam laktat juga menghasilkan TMA.

Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar, yaitu bakteri yang banyak terdapat pada anggota tubuh manusia yang tidak higienis, kotoran/ tinja, serta peralatan yang tidak bersih.

Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno, 1993). Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah yang tinggi yaitu Proteus marganii (Bigeye, Skipjack), Enterobacteri aerogenes (Skipjack), Clostrodium pefringens (Skipjack). Selain itu, keracunan histamin disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli, Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobactericeae dan lain-lain. Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang.

Hasil pembusukan berupa histamin oleh bakteri optimal pada temperature 300C dan menurun pada temperature dingin yaitu 00C-50C (Lehane and Olley, 2000).

 

2.2.2.   Proses Penurunan Mutu

a. Secara Enzimatis

            Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang sangat cepat mengalami pembusukan ( perishable food ).   Hal ini terjadi karena senyawa penyusun tubuh ikan mudah sekali mengalami penguraian oleh mikroba yang secara alami terdapat pada tubuh ikan ( Brown, 1986 ).   Menurut Junizal (1976 ), tiga proses utama segera terjadi setelah ikan mati yaitu pertama proses autolisis dan ensimatis selama ikan mengalami prerigor dan rigor mortis, kemudian dilanjutkan oleh serangan bakteri pembusuk dan terakhir terjadinya oksidasi reduksi asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid ) pada tubuh ikan.

Pada saat penangkapan, perlawanan ikan tuna berpengaruh besar terhadap berkurangnya jumlah glikogen dalam daging sehingga ATP yang dihasilkan dalam daging setelah ikan mati berkurang (Junianto, 2003). Penggunaan glikogen saat perlawanan juga mempengaruhi kondisi akhir postmortem, yaitu terbentuknya asam laktat dan piruvat sebagai hasil akhir pemecahan glikogen. Konsentrasi asam-asam ini meningkat dengan cepat dalam kira-kira dua menit setelah perlawanan (Junianto, 2003). Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1993), pada waktu ikan hidup pemasokan oksigen masih berlangsung dengan baik, sehingga glikogen teroksidasi menjadi karbondioksida dan air. Sebaliknya pada saat ikan mati, oksidasi tak dapat berlangsung lagi. Prosesnya menjadi bersifat anaerob. Dalam keadaan demikian glikogen akan dapat diubah menjadi asam laktat.

Asam laktat yang terbentuk dapat menyebabkan keasaman daging ikan naik (pH turun). Keadaan ini dapat mengakibatkan enzim-enzim ATP-ase dan kreatinfosforilase menjadi aktif menyerang ATP dan kretin-fosfat dengan menimbulkan tenaga berbentuk panas (Suwedo Hadiwiyoto, 1993). Menurut Junianto (2003), terakumulasinya senyawa-senyawa asam ini menyebabkan perubahan-perubahan organoleptik pada tuna. Perubahan-perubahan yang terjadi  antara lain daging berwarna pucat dan berair, daging tampak seperti telah dimasak (di Jepang dikenal dengan nama yalu), dan warna ian tampak seperti terbakar (burn fish). Pembakaran daging terjadi jika pH turun dibawah 5,9 dan suhu diatas 260C. Pembentukan asam laktat di dalam daging tuna oleh glycolysis yang anaerobik dimulai setelah aktivitas berat selama 1-2 jam; sekali terbentuk diperlukan beberapa jam untuk hilang dalam metabolisme (Murniyati dan Sunarman, 2000).

Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1993), Enzim ATP-ase merupakan enzim yang memegang peranan penting karena akan memecah ATP menjadi ADP dengan menghasilkan tenaga (energi). Timbulnya tenagaberbentuk panas yang dihasilkan dari pemecahan ATP tersebut menyebabkan terjadinya interaksi aktin dan miosin sehingga terbentuk protein aktomiosin yang disebut pula sebagai miosin-B. Dengan terbentunya aktomiosin inu ukuran sarkomer menjadi lebih pendek, sebagai akibatnya adalah daging akan mengkerut dan menjadi kaku. Setelah fase rigormortis selesai, perubahan metabolik akan berlangsung dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam kesegaran daging. Semakin lama ikan memasuki dan melewati fase rigormortis maka semakin lama ikan tetap segar secara kimia (Junianto, 2003).

 

b. Secara Bakteriologis

Pada ikan hidup, bakteri yang terdapat pada bagian kulit (lendir), insang dan pada makanan di dalam perutnya ini tidak berpengaruh buruk terhadap ikan. Tetapi setelah ikan mati, ditunjang oleh kenaikan suhu, bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang tubuh ikan. Hal ini disebabkan oleh karena ikan tidak lagi mempunya daya tahan terhadap bakteri (Murniyati dan Sunarman: 2000). Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1993), ikan-ikan yang berlendir pada permukaan tubuhnya banyak mengandung jenis-jenis Pseudomonas, Alcaligenus, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina, Serratia, Vibrio, dan Bacillus.

Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), penyerangan ini dilakukan dalam bentuk suatu kenyataan bahwa bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses autolysis, dan substansi-substansi non-nitrogen. Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain.

Bakteri ini secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan.

Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang terbaik baginya ialah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolysis dan senyawa-senyawa nitrogen non-protein (trimetilamin oksida, histidin, urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut mengandung mengandung lebih banyak senyawa non-protein daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan oleh bakteri. Pembusukan ikan-ikan yang mengandung histidin (tuna, sardin, mackerel) berlangsung lebih cepat.

Faktor-faktor biologi dan non-biologi lain juga dapat berkontribusi terhadap kualitas daging tuna. Faktor-faktor tersebut meliputi komposisi pakan dan daging (terutama lemak), parasit, umur, kematangan seksual, penyakit, metode mematikan ikan, prosedur pencucian, pendinginan, cara penyimpanan, dan suhu penyimpanan ikan.

 

c. Perubahan Fisik

menurut Sofyan Ilyas (1983), metode penangkapan yang kurang baik, berjejalnya ikan dalam air atau dalam alat tangkap, juga penangkapan kasar yang menyebabkan ikan cacat, babak belur, atau memar, dapat berakibat jelek terhadap mutu produk akhir. Gejala jelek ini disebabkan oleh mengalirnya dan bebasnya enzim deterioratif dan merembesnya bakteri pengurai ke dalam daging, serta rusaknya mutu organoleptik (rupa, bau, rasa, dan tekstur) ikan bersangkutan.

 

2.3. Perubahan Biokimia Sebelum Ikan membusuk

Setelah ikan mati terjadi proses pembongkaran komponen-komponen daging, yaitu protein, lemak, glikoga. Senyawa-senyawa lain seperti ATP, kreatin-fosfat, juga akan mengalami pembongkaran. Ini disebabkan oleh karena enzim-enzim yang terdapat dalam daging ikan mati masih saja aktif.

 

2.3.1.  Perubahan Karbohidrat

Karbohidrat dalam tubuh ikan kebanyakan berbentuk polisakarida, yaitu glikogen. Jumlah glikogen yang terdapat pada daging ikan tidak sebanyak yang terdapat pada daging hewan mamalia darat. Meskipun demikian peranannya juga sama dan penting sekali terutama pada saat ikan masih hidup. Pada waktu itu, pemasokan oksigen masih berlangsung dengan baik, sehingga glikogen teroksidasi menjadi karbondioksida dan air. Sebaliknya pada ikan mati, oksidasi tak dapat berlangsung lagi. Prosesnya menjadi bersifat anaerob. Dalam keadaan demikian glikogen akan dapat diubah menjadi asam laktat.

Asam laktat yang terbentuk dapat menyebabkan keasaman daging ikan naik (pH turun). Keadaan ini dapat mengakibatkan enzim-enzim ATP-ase dan kreatinfosforilase menjadi aktif menyerang ATP dan kreatin-fosfat dengan menimbulkan tenaga berbentuk panas.

 

2.3.2. Perubahan ATP

Adenosintrifosfat (ATP) diketahui memegang peranan penting pada pembentukan komponen-komponen citarasa daging ikan segar. Disamping ATP dapat menghasilkan tenaga, diketahui pula senyawa ini dapat menghasilkan inosin monofosfat (IMP; asam inosinat) yang dapat memberikan citarasa enak pada daging ikan, dan menurut oleh beberapa ahli dianggap sebagai citarasa yang paling baik. Tetapi asam inosinat akan segera terbongkar menjadi inosin yang menyebabkan daging ikan menjadi hambar.

Pembongkaran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain suhu sangat berperan. Semakin suhu tinggi, pembongkaran ATP menjadi lebih cepat daripada suhu rendah. Sementara itu jenis ikan juga memegang peranan pada kecepatan pembongkaran ATP, dan ini mungkin ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kandungan glikogen dalam ikan.

 

2.3.3. Perubahan Protein

Pada waktu kandungan ATP dan pH daging ikan menurun, protein aktin dan miosin yang kedua-duanya merupakan protein miofibrilar akan mengadakan interaksi menjadi protein aktomiosin. Selanjutnya aktomiosin akan tetap berada dalam daging ikan mati dan tidak kembali lagi menjadi komponen-komponennya semula meskipun fase rigor telah lewat.

Tetapi pada fase lewat rigor, baik protein miofoibrilar maupun protein sarkoplasma akan mengalami pembongkaran oleh enzim-enzim otolitik menjadi peptida-peptida dan asam amino bebas yang sangat berpengaruh pada aroma dan rasa ikan. Tetapi asam-asam amino bebas ini dapat dibongkar lebih lanjut menjadi metabolit-metabolit sederhana yang pada umumnya merupakan penyebab bau busuk pada ikan.

 

2.3.4. Perubahan Lemak

Enzim lipolitik masih tetap aktif meskipun ikan sudah mati. Enzim lipolitik akan memecah lemak yang pada tahap tertentu dapat memberikan citarasa yang baik pada daging ikan, tetapi pemecahan lebih lanjut akan menyebabkan kerusakan pada daging ikan.

Tuna mengandung lemak tidak jenuh dan minyak. Kedua senyawa ini dapat kontak dengan oksigen dan menyebabkan ikan menjadi tengik. Selain itu, pembongkaran lemak menjadi asam-asam emak bebas berkelanjutan dapat menyebabkan asam-asam lemak mengalami penguraian menjadi senyawa-senyawa keton, dan aldehida. Lemak dikatakan mengalami proses ketengikan. Ketengikan ini menghasilkan bau dan rasa yang tidak disukai. Salah satu sebab ketengikan yang lain adalah kegagalan dalam mengeluarkan darah yang kaya oksigen dari daging. Selain itu menurut Buckle dkk (1987), hidrolisis minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi citarasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa ini dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak dan minyak atau karena kegiatan enzim.

Kecepatan oksidasi dan hidrolisis lemak ini dapat diperlambat oleh penurunan suhu, melindungi produk tidak berhubungan dengan udara (dibungkus), dengan pembubuhan anti-oksidan, produk tidak berkontak dengan logam-logam berat dan lain-lain (Sofyan Ilyas: 1983).

 

 


Jumat, 09 April 2010

Bahaya Penggunaan Formalin

BAHAYA PENGGUNAAN FORMALIN

Oleh : Dedy Antoro

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagai Negara kepulauan (archipelagic nation), Indonesia dikaruniai potensi kelautan berupa pulau-pulau kecil dengan jumlah mencapai lebih dari 17.000 pulau. Potensi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat dariberbagai sisi, antara lain ekonomi, social, ekologi, keamanan (security), dan navigasi (Akhmad Fauzi dan Suzy Anna, 2008). Selain itu juga, menurut Buckle dkk (1987), kepulauan Indonesia dengan daerah continental dengan perairan campuran arus dari Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik dan dengan perairan darat yang luas, kaya akan sumber-sumber perikanan. Dua juta orang, atau 5% dari tenaga kerja seluruh bangsa, mendapatkan penghidupan dari hasil perikanan sepenuhnya atau sebagian.

Ikan merupakan salah satu hasil perikanan yang terdapat dalam perairan. Dan lebih dari 200 spesies ikan ditangkap di perairan tropis di Indonesia. Menurut Junianto (2003), ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup manusia. Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan pangan sejak beberapa abad yang lalu. Sebagai bahan pangan, ikan mengandung zat gizi utama berupa protein, lemak, vitamin, dan mineral.

Telah diketahui walaupun ikan mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi ikan merupakan jenis pangan yang mudah sekali membusuk dan mudah mengalami kemunduran mutu (perishable food) pada suhu kamar. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha mengupayakan agar mutu ikan yang diperoleh tersebut tetap terjaga.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia adalah dengan pengawetan yang dilakukan dengan menggunakkan beberapa cara, seperti pendinginan, pembekuan, penggunaan zat pengawet dan sebagainya.

Salah satu cara pengawetan yang sering dilalulan oleh masyarakat umumnya adalah menggunakan zat-zat pengawet. Namun, masyarakat belum mengetahui baik batas kadar yang dianjurkan maupun zat pengawet yang baik untuk digunakan sehingga tidak berbahaya bagi seseorang yang mengkonsumsinya, sebagai contohnya formalin.

Kami sebagai mahasiswa Perikanan, khususnya Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang berada dalam naungan yayasan harus mengetahui zat pengawet yang biasanya digunakan pada ikan oleh masyarakat tetapi dapat berbahaya bagi kesehatan atau tubuh manusia, seperti formalin.

2.1. Ikan dan Hasil Perikanan

Ikan adalah salah satu hasil perairan yang sudah lama dikenal peradaban. Dalam pengertian perekonomian, ikan adalah sesuatu yang dimanfaatkan melalui perikanan, sedangkan perikanan adalah suatu kegiatan perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alm perikanan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan manusia dengan mengoptimalkan dan memelihara produltivitas sumber daya perikanan dan kelestarian lingkungan (Sofyan Ilyas,1993).

Menurut Suwedo Hadiwiyoto (1999), ikan pada umumnya telah banyak dikenal daripada hasil perikanan lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak ditangkap dan dikonsumsi. Ikan memang sudah dikenal sejak waktu yang sangat lama, ribuan tahun yang lalu. Jenis ini termasuk hewan vertebrata, artinya hewan yang mempunyai tulang belakang, dan ciri yang khas adalah hidupnya di air dan pada umumnya bernafas menggunakan insangnya.

Ikan telah banyak dikenal, karena boleh dikatakan semua orang pernah menggunakannya sebagai bahan pangan dengan dimasak terlebih dahulu, misalnya sebagai lauk pauk. Yang belum banyak diketahui adalah rahasia yang terkandung di dalamnya sehingga tidak banyak diketahui tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemasakan, pengolahan atau pengawetan ikan. Sungguhnyalah sifat-sifat umum yang dimiliki ikan sangat mendukung kedudukannya sebagai bahan pangan. Seperti diketahui bahwa agar supaya suatu bahan dapat berfungsi sebagai bahan pangan, maka bahan tersebut harus memiliki beberapa persyaratan atau ciri-ciri khusus, yaitu bersifat mempunyai nilai gizi tinggi, dapat memenuhi selera, dan memuaskan rasa lapar seseorang, dan juga bersifat aman dan sehat jika dimakan.

Telah diketahui, bahwa ikan selain mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi juga termasuk dalam perishable food atau dengan kata lain bahan pangan yang mudah rusak atau mengalami kemunduran mutu. Menurut Buckle dkk (1987), salah satu penyebab dari keadaan kerusakan adalah tingginya pH akhir daging ikan, biasanya pH 6,4-6,6 karena rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan. Lagipula, ikan sukar ditangkap dalam jumlah besar tanpa pergulatan yang selanjutnya mengakibatkan turunnya cadangan glikogen. Selain itu, kandungan air pada tubuh ikan dalam jumlah yang besar.

Oleh karena itu, manusia selalu mengupayakan agar mutu ikan segar yang diperoleh dapat dipertahankan hingga ketangan konsumen. Sehingga kandungan gizi yang terdapat dalam tubuh ikan tidak banyak terurai dan dapat dimanfaatkan dalam tubuh manusia yang mengkonsumsinya. Cara-cara yang digunakan tersebut sangat bervariasi, namun tetap bertujuan untuk mencegah kerusakan atau kemunduran mutu, seperti dengan penggunaan suhu rendah, penggunaan suhu tinggi, pengeringan, pengawetan secara kimiawi, dan lain sebagainnya.

2.2. Zat Pengawet

Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam dan garamnya. Aktivitas-aktivitas bahan pengawet tidaklah sama, misalnya asa yang efektif terhadap bakteri, khamir, ataupun kapang.

a. zat pengawet organic

zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik, karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organic digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida.

Bahan pengawet kimia seperti asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat biasanya hanya bersifat mencegah pertumbuhan mikroba saja. Tetapi, lain halnya dengan epoksida seperti etilen oksida dan propilen oksida bersifat membunuh semua mikroba termasuk spora dan virus.

b. zat pengawet anorganik

zat pengawet anorganik ini tidak jauh berbeda dengan zat pengawet organik, yang berperan untuk mencegah pertumbuhan mikrobia pada makanan. Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit.

Tetapi tidak semua bahan pengawet baik untuk mengawetkan atau mempertahankan mutu suatu bahan pangan. Karena setiap bahan pengawet telah memiliki standar dalam penggunaanya sehingga tidak membahayakan manusia ataupun makhluk hidup lain yang mengkonsumsinya. Sebagai contoh penggunaan bahan pengawet yang telah dilaporkan oleh Republika online. Tepatnya di daerah Depok tahun 2007, banyak masyarakat wilayah tersebut yang dibawa ke Rumah Sakit terdekat yang berjumlah 10 orang. Gejala awal yang mereka rasakan adalah gatal-gatal pada tenggorokan. Selain itu, mereka juga merasa mual, muntah, kejang perut, gangguan peredaran darah, diare berlendir, dan berdarah. Setelah melakukan penelusuran, ternyata sebelumnya mereka makan di warung yang sama di wilayah tersebut. Dan baru diketahui bahwa ternyata mereka makan di lauk pauk yang sama, yaitu ikan yang telah diolah oleh pemilik warung. Setelah menanyakan kepada pemilik warung, ikan yang diolahnya didapat di pasar tradisional terdekat. Setelah dilakukan pemeriksaan pada ikan tersebut, ternyata ikan tersebut mengandung formalin dalm kadar yang tinggi. Menurut Ani Rubiani (Kepala Bidang Bina Farmasi dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok), mengkonsumsi ikan yang mengandung formalin di dalamnya dalam jumlah besar, dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker, selain itu juga hingga berakibat kematian. Oleh karena itu, Ani melarang zat pengawet mayat tersebut digunakan sebagai pengawet bahan makanan.

2.3. Deskripsi Formalin

2.3.1. Definisi formalin

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36-40%. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet. Formalin mempunyai banyak nama kimia diantaranya adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehide, Formalith, Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene dan Methylene glycol.

Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal), merupakan aldehida berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867.

Bahan kimia ini juga secara alami terdapat pada lingkungan dan dapat ditemukan juga pada bahan makanan dalam jumlah terbatas, termasuk buah dan syuran, daging, ikan, udang dan bahan makanan lainnya. Kandungan tertinggi dapat mencapai 300ppm sampai 400ppm (ppm: part per million, mg/l) secara alami pada jamur kering termasuk juga shiitake. The United States Environmental Protection Agenci (USEPA) menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI, asupan harian yang diperkenankan) yaitu 0,2 mg/kg berat badan untuk bahn kimia ini. ADI adalah jumlah bahan yang bisa ditelan tiap hari yang ditaksir (sesuai badan berat dasar) di atas satu seumur hidup tanpa resiko cukup besar. Penelanan dalam jumlah sedikit bahan kimia ini tidak menyebabkan efek akut.

2.3.2. Produksi formalin

Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalik methanol. Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak, atau campuran oksida besi dan melibdenum serta vanadium. Dalam system oksida besi yang lebih sering dipakai (proses Formox), reaksi methanol dan oksigen terjadi pada 250Cdan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia:

2 CH3OH + O2 2 H2CO + 2 H2O

Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam temperature yang lebih tinggi, kira-kira 650C. dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida. Satu seperti yang diatas, sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi:

CH3OH H2CO + H2

Bila formaldehida ini dioksidasi kembali, akan menghasilkan asam format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm.

Di dalam skala yang lebih kecil, formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol, yang secara komersial tidak menguntungkan.

Di pasaran, formalin dapat juga diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehida 30, 20, dan 10%.. Disamping dalam bentuk cairan, formalin dapat diperoleh dalam bentuk tablet yang masing-masing mempunyai berat 5 gram.

2.3.3. Sifat formalin

Formaldehida mudah larut dalam air sampai kadar 55%, sangat efektif dalam suasana alkalis, serta bersifat sebagai zat pereduksi yang kuat, mudah menguap karena titik didihmya yang rendah yaitu -210C. Secara alami formaldehida juga dapat ditemui dalam asap pada proses pengasapan makanan, yang bercampur dengan fenol, keton, dan resin.

Bila menguap di udara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan, sehingga merangsang hidung, tenggorokan dan mata. Udara yang mengandung formaldehida kadar 5 mg/l atau lebih dapat membahayakn kesehatan manuasia. Gas formalin sering digunakan oleh pedagang bahan tekstil di berbagai pusat perbelanjaan, sehingga bila melewati daerah tersebut mata tersa pedas. Maksud pemberian gas formalin agar bahan tekstil tersebut tidak rusak oleh jamur dan rengat.

Formaldehida termasuk kelompok senyawa desinfektan kuat, dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, penyakit serta cendawan atau kapang. Di samping itu, formaldehida dapat mengeraskan jaringan tubuh. Oleh karena itu, formalin 3,7% digunakan untuk mengawetkan mayat, serta bahan biologi dan patologi lain.

Dalam air, formaldehida mengalami polimerasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO. Formalin biasanya juga mengandung alkohol (methanol) sebanyak 10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator supaya formaldehidanya tidak mengalami polimerasi.

2.3.4. Kegunaan formalin

Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai desinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai desinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih, lantai, kapal, gudang dan pakaian.

Formaldehida juga dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan formaldehuida dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai.

Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produk polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamina, formaldehida menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanent, misalnya yang dipakai untuk kayu lapis/ tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busanya sebagai insulasi. Lebih dari 50% produlsi formaldehida dihabiskanuntuk produksi resin formaldihida.

Di industri perikanan, formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir. Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat formalin daripada akibat penyakitnya. Formalin banyak digunakan dalam pengawetan specimen ikan untuk keperluan penelitian dan identifikasi.

Untuk mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida dipakai untuk produlsi alkohol polifungsional yang digunakan untuk membuat cat bahan peledak. Sebagai formalin, larutan senyawa kimia ini sering digunakan sebagai insektisida serta bahan baku pabril-pabrik resin plastic dan bahan peledak

Selain itu, ada beberapa kegunaan lainnya dari formalin, diantaranya:

1. Pengawet mayat.

2. Pembasmi lalat dan serangga pengganggu lainnya.

3. bahan pembuatan sutra sintetis, zat pewarna, cermin, kaca.

4. pengeras lapisan gelatin dan kertas dalam dunia fotografi.

5. bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

6. bahan untuk pembuatan produk parfum.

7. bahan pengawet produk kosmetik dan pengeras kuku.

8. pencegah korosi untuk sumur minyak.

9. dalam konsentrasi yang sangat kecil (kurang dari 1%), formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih barang rumah tang, cairan pencuci piring , pelembut kulit, perawat sepatu, shampoo, mobil, lilin, dan pembersih karpet.

2.4. Penyalahgunaan Formalin

Besarnya manfaat formalin di bidang industri ini ternyata disalahgunakan sebagai zat pengawet dalam industi makanan. Melalui sejumlah survei dan pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan yang menggunakan formalin sebagai pengawet. Praktek yang salah seperti ini dilakukan oleh produsen atau pengelola pangan yang tidak bertanggung jawab. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan, karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai POM setempat. Adapun penyalahgunaan formalin tersebut tetap merupakan tindakan membahayakan keselamaatan konsumen dan melanggar peraturan yang berlaku. Hasil-hasil penelitian pun masih belum dapat menyimpulkan bahaaya akibat penyalahgunaan formalin karena memang tidak secara umum dipergunakan dalam makanan.

Bahan makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mi basah, tahu, bakso, ikan asin, dan khususnya digunakan dalam pengawetan ikan segar akan tidak cepat mengalami kemunduran mutu atau busuk. Telah kita ketahui bahwa ikan termasuk dalam perishable food atau makanan yang cepat sekali membusuk. Oleh karena itu, para masyarakat menggunakan formalin dengan kadar yang tinggi agar ikan terlihat segar dan tidak mudah busuk.

Faktor yang menyebabkan masyarakat menggunakan formalin sebagai zat pengawet pada ikan segar adalah agar usaha mereka menguntungkan. Hal ini dikarenakan ikan yang diberi formalin terlihat masih sangat segar dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi.

Faktor lain yang menyebabkan maaraknya formalin sebagai bahan pengawet adalah faktor ekonomis. Formalin yang merupakan larutan 37% massa (40% volume) formaldehida (HCHO), 6-13% matanol, dan sisanya air ini dalam 1 liter harganya Rp 7.000. Setelah diencerkan dengan air, 1 liter formalin ternyata cukup untuk mengawetkan 10 ton ikan hasil tangkapan. Padahal jika menggunakan es balok, dibatukan sekitar 350 buah (perbalok sekitar Rp 7.500) hasilnya seharga Rp 2,63 juta.

Selain itu, alasan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan, diantaranya:

1. Banyak dijumpai di pasar bebas.

2. Biaya murah.

3. Pengetahuan nelayan atau produsen pangan yang tidak memadai mengenai bahaya bahan kimia terlarang tersebut.

4. Kesadaran kesehatan masyarakat rendah.

5. Alternatif lain, seperti penggunaan minatrid yang tidak berbahaya, tetapi memiliki harga dua kali lipat dari formalin.

2.5. Ciri-Ciri Ikan yang Diberi Formalin

Deteksi suatu makanan apakah terdapat atau terkandung formalin agar mendapatkan hasil yang akurat memang sulit. Karena deteksi formalin formalin secara kualitatif dan kuantitatif secara akurat hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan pereaksi kimia.

Tetapi, terdapat beberapa ciri penyalahgunaan formalin pada pangan dapat diketahui dengan secara kasat mata, walaupun tidak terlampau khas untuk mengenali pangan berformalin, namun dapat membantu membedakannya dari ikan segar yang tanpa formalin. Tepatnya ciri-ciri ikan segar yang mengandung formalin, diantaranya:

1. Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (250C).

2. Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah egar dan warna daging ikan putih bersih.

3. Tekstur dsging ikan menjadi kaku dan sedikit sulit untuk dibelah atau dipotong.

4. Bau menyengat, bau formalin.

5. Tidak adanya lalat ataupun serangga yang menghinggapi ikan tersebut.

Ciri-ciri diatas memang hanya bersifat umum, namun setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang ciri ikan segar yang diduga mengandung formalin. Karena bagaimanapun juga, harus tetap waspadai, jangan sampai ikan yang kita konsumsi malah mengakibatkan penyakit yang seharusnya ikan tersebut menjadi sumber kesehatan dan komponen yang penting bagi tubuh kita.

2.6. Toksisitas Formalin

Formalin masuk ke dalam tubuh manusia melalui dua jalan, yaitu mulut dan pernapasan. Sebetulnya, sehari-hari kita menghirup formalin dari lingkungan sekitar. Polusi yang dihasilkan oleh adap knalpot dan pabrik, mengandung formalin yang mau tidak mau kita hirup, kemudian masuk ke dalam tubuh. Asap rokok atau air hujan yang jatuh ke buli pun sebetulnya juga mengandung formalin. Formalin dangat berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, dan tertelan.

Karena resin formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks, karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan formaldehida pelan-pelan, formaldehida merupakan salah satu polutan dalam ruangan yang sering ditemukan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala dan membran mukosa, yang menyebabkan keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan.

Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversikan jadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hiportemia, juga koma, atau sampai kepada kematiannya. Di dalam tubuh, formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal. Dan jika dalam tubuh tinggi, akan bereksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan kerusakan pada organ tubuh.

Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala sebagai berikut: sukar menelan, mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Selain itu juga menurut Redhana dalam pemaparan seminar di depan mahasiswa IKIP Negeri Singaraja, bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan formalin dalam bahan makanan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia, antara lain bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare, muntah, sukar menelan,sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, gangguan peredaran darah, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan kanker. Selain itu juga dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, limfa, pankreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Efek yang ditimbulan ini ini tidak dirasakan dengan segara, tetapi akan dirasakan beberapa tahun kemudian.

Konsumsi formalin pada dosis yang sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan haematomesis (muntah darah) yang berakibat dengan kematian. Meskipun dalam jumlah kecil, dalam jangka panjang formalin juga bisa mengakibatkan banyak gangguan organ tubuh. Selain itu dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air, serta akan dibuang ke luar bersama cairan tubuh, sehingga formalin sulit dideteksi keberadaanya di dalam darah. Imunitas tubuh sangat berperan dalam berdampak tidaknya formalindi dalam tubuh. Jika imunitas tubuh rendah atau mekanisme pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar rendah pun bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Usia anak khsusnya bayi dan balita adalah salah satu yang rentan untuk mengalami gangguan ini.

Secara mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltik (gerakan usus) merupakan pelindung masuknya zat asing ke dalam tubuh. Secara kimia asam lambungdan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat berbahaya tersebut.

Nilai ambang batas yang aman bagi tubuh manusia terhadap formalin menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety) adalah 1 mg liter (1 ppm). IPCS adalah lembaga khusus daaaari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimia. Bila formalin masuk tubuh melebihi amabang batas tersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan system tubuh manusia.

Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.

Binatang percobaan yang menghisap formaldehida terus-terusan terserang kanker dalam hidung dan tenggorokannya. Tapi, ada studi yang menunjukkan apabila formaldehida dalam kadar lebih sedikit, seperti yang digunakan dalam bangunan, tidak menimbulkan pengaruh karsinogenik terhadap makhluk hidup yang terpapar zat tersebut.

Formalin yang bersifat racun tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius, maupun yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Jadi, penggunaan formalin termasuk yang dilarang dalam makanan.

2.7. Pertolongan Pertama Bila Terjadi Keracunan Akut

Pertolongan tergantung pada konsentrasi cairan dan gejala yang dialami korban. Sebelum ke rumah sakit, berikan arang aktif (norit) bila tersedia. Jangan melakukan rangsangan agar korban muntah, karena akan menimbulkan resiko trauma korosif pada saluran cerna atas. Di rumah sakit biasanya tim medis akan melakukan bilas lambung (gastric lavage), memberikan arang aktif (walaupun pemberian arang aktif akan mengganggu penglihatan pada saat endoskopi). Endoskopi adalah tindakan untuk mendiagnosis terjadinya trauma esofagus dan saluran cerna. Untuk meningkatkan eliminasi formalin dari tubuh dapat dilakukan hemodialisis (cuci darah). Tindakan ini diperlukan bila korban menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik berat.

2.8. Uji Formalin Dalam Makanan

Secara kualitatif uji formalin dalam makanan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat, yaitu dengan prinsip ada tidaknya reaksi formalin dengan larutan brom: H2SO4 (1:1), bila terjadi warna ungu berarti positif. Tentu saja formalin yang terdapat di dalam makanan harus di ekstraksi lebih dulu secara benar (berdasarkan Jacob 1958 yang telah dimodifikasi dalam F.G. Winarno, 2008). Meskipun tekniknya agak kuno, tetapi dapat dilakukan dengan cepat, dalam prakteknya, teknik tersebut memiliki kepekaan yang cukup tinggi.

Secara kuantitatif tentu saja dapat dilakuakan dengan menggunakan kurva kalibrasi. Namun karena formalin dilarang, uji kualitatif cukup untuk melakukan tindakan pelarangan dan pengusutan, bila uji laboratorium ternyata positif.

2.8. Kebijakan Pemerintah Mengenai Penyalahgunaan Formalin

Penggunaan bahan terlarang hasil kajian dan analisis BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan sebagai berikut:

  1. Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan pangan (seperti rhodamin B, dan methanil yellow). Ada dua kategori bahan pengawet yang biasa dipakai pelaku usaha, pertama bahan pengawet yang tidak boleh dipergunakan sama sekali dan kedua, bahan yang boleh digunakan tapi sudah berada di atas ambang batas yang telah ditentukan.
  2. Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya lainnya juga ditemui pada produk pangan, terutama penggunan formalin dan boraks. Pemakaian formalin terutama ditemui pada produk pangan berasam rendah seperti mie basah, tahu, ikan asin, dan terutama ikan segar.
  3. Penyalahgunaan bahan tambahan pangan yang melebihi dosis yang diizinkan antara lain ditemui pda penggunaan pemanis buatan (sakarin dan siklamat).

Formalin yang digunakan sebagai zat pengawet pada ikan segar sebenarnya mengandung zat kimia berbahaya yang dikabarkan digunakan dalam bahan makanan yang didagangkan. Penggunaan bahan kimia ini masuk kedalam bahan tambahan makanan yang penggunaannya telah diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku disetiap negara. Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan tersebut diatur padaPeraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Adapun bahn tambahan makanan yang dilarang dalam penggunaannya karena dapat membahayakan kesehatan selain diantaranya bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker), yaitu Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya, Asam Salsilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt), Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate, DEPC), Dulsin (Dulcin), Kalium Klorat (Potassium Chlorate), Kloramfenikol (Chloramphenicol), Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils), Nitrofurazon (Nitrofurazone), Formalin (Formaldehyde) dan Kalium Bromat (Potassium Bromate).

Selain itu juga, sebenarnya penggunaan zat ini bersamaan dengan boraks dan rhodamine sudah dilarang sejak 20 tahun yang lalu dengan dikeluarkannya Permenkes No. 239/1985. Tetapi kurangnya informasi dan tanggung jawab mengakibatkan penggunaan bahan tersebut “dihalalkan” para pedagang.

Sebenarnya penggunaan bahan tambahan yang diperbolehkan sebenarnya sudah dirokemendasikan oleh Depkes RI serta ambang batas yang diperbolehkan telah diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/MENKES/PER/IX/88. Dan menurut Nyoman Tika dalam pemaparan seminar di depan mahasiswa IKIP Negeri Singaraja, kasus-kasus yang muncul di masyarakat disebabkan penggunaan zat aditif melebihi nilai ambang batas.

Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan untuk formalin, antara lain Undang-undang (UU) No. 7/1996 tentang Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan No.472/1996 Tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.

Selain itu, terdapat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000 tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu, yang diantaranya adalah ketentuan penggunaan formalin:

1. Impor formalin hanya boleh dilakukan oleh Importir Produsen Bahan Berbahaya (IP-B2) yang diakui oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan RI dan disetujui untuk mengimpor sendiriformalin yang diperuntukkan semata-mata hanya untuk kebutuhan produsinya sendiri.

2. Importir Terdaftar Bahan Berbahaya (IT-B2) bukan produsen Pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang mendapat tugas khusus untuk mengimpor formalin dan bertindak sebagai distributor untuk menyalurkan bahan berbahayayang diimpornya kepada perusahaan lain yang membutuhkan.

Keputusan ini didukung pula oleh UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumendikaitkan dengan hak konsumen dikaitkan dengan hak konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa; serta hak mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen sehingga akan memberikan ancaman berat bagi penyalahgunaan formalin.